Lompat ke isi utama

Berita

MENEROPONG PEMENUHAN KONSTITUSIONAL ORANG ASLI PAPUA (OAP) PADA PENCALONAN KEPALA DAERAH TAHUN 2020

MENEROPONG PEMENUHAN KONSTITUSIONAL ORANG ASLI PAPUA (OAP) PADA PENCALONAN KEPALA DAERAH TAHUN 2020

 

Oleh: Elias Idie
(Pandangan  Sebagai Penyelenggara Pemilu  Dan Orang Asli Papua)

 

Sembari menghitung mundur waktu berjalannya   otonomi khusus Papua (otsus) sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2020, kurang lebih 19 tahun, dengan mencoba menganalisis dan mengelompokkan indikator pembangunan dan pemberdayaan dengan kewenangan yang diberikan. Kemungkinan yang bisa dilihat  adalah indicator kuncuran triliunan rupiah dana otsus sejak tahun 2001 sampai dengan tahun  2020,  diperkirakan telah mencapai 94,24 triliun. Sedangkan  indicator pemberdayaan ekonomi, pendidikan, kesehatan, perlindungan hak asasi manusia dan social budaya bagaikan kotak pandora. Mengukur  proses pembangunan melalui kebijakan otonomi khusus Papua, pertanyaan reflektifenya adalah  siapa sesugguhnya yang menikmati kebijakan otonomi khusus selama ini? otsus seakan berada pada persimpangan jalan,  disatu sisi dipertanyakan keberhasilan dan disisi yang lain waktunya  mendekati akhir masa pengabdian di Tanah Papua.

Perdebatan diakhir masa berlakunya  Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001,  baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, apakah kebijakan otsus Papua di lanjutkan dan atau dihentikan. Pemerintah Pusat  menginginkan agar kebijakan pemberlakuan otonomi khusus tanah Papua dilanjutkan, dengan respon, kebijakan pertama;  Melalui  Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yaitu Badan Legislasi Nasional menetapkan  Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus Papua menjadi Program Legislasi Nasional Prioritas, kebijakan kedua; Pihak eksekutife dalam hal ini,  Bapak Presiden Republik Indonesia menyampaikan bahwa pemberlakuan otonomi khusus Papua dilanjutkan dan perlu akselerasi percepatan pemekaran daerah di  Papua maupun Papua Barat.

Namun dilain pihak melalui Dewan Perwakilan Rakyat Papua maupun Papua Barat dan juga Majelis Rakyat Papua dan Papua Barat, menghendaki perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap keberhasilan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001  dan skaligus melaksakan perintah  pasal 77 yang menyatakan bahwa; usulan perubahan atas undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR RI atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika menganalisis perbedaan kebjikan baik pemerintah pusat maupun DPR Papua-Papua Barat  dan juga MRP Papua- Papua Barat. Hal ini dapat disimpulkan, bahwa; pemerintah pusat baik legislatife maupun eksekutife, memandang urgent kondisi Papua dan Papua Barat, sehingga langkah-langkah strategis-tagtis dengan kaca mata Jakarta dilakukan apapun resikonya, sambil perlahan melakukan pendekat soft power kepada pihak-pihak berkepentingan di Tanah Papua, ataupun  mungkin saja Gubernur, Bupati, Walikota, sudah menyampaikan pandangan dan pokok-pokok kebijakan terkait  pemberlakuan otonomi khusus di lanjutkan, atas nama rakyat yang selama 19 (sembilang belas) tahun perjalanan otsus masih bertanya apa itu otsus? bagaimana wujudnya? dan pertanyaan-pertanyaan seterusnya..!

Pada posisi yang lain, Majelis Rakyat Papua (MRP)  dan Papua Barat (MRPB) tepat pada tanggal,  27 februari tahun 2020 , di hotel Garden Lake Sentani Papua melakukan deklarasi “Hak Politik Orang Asli Papua Di Pilkada Tahun 2020” dengan tujuan mewujudkan perintah  Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 yaitu;  mengutamakan kepentingan orang asli Papua menjadi tuan di negeri sendiri.  Adapun maksud bahwa pada Penyelenggaraan Pemilihan Kepada Daerah Serentak Tahun 2020, wajib Pasangan Calon Bupati/Wakil dan atau  Pasangan Calon Walikota/Wakil mutlak harus Orang Asli Papua (OAP).  Deklarasi hak politik orang asli Papua oleh Majelis Rakyat Papua dan Papua Barat tersebut, dipandang merupakan keniscayaan dalam memperjuangkan hak politik, sebagaimana ketentuan Undang-undang  Nomor 21 tahun 2001 pasal 28 ayat 3 & 4, bahwa;  pertama;  kewenangan majelis rakyat papua memberi pertimbangan kepada partai politik dalam hal seleksi dan rekruitmen partai politik dengan memprioritaskan orang asli papua, kedua; Calon Gubernur/Wakil, Bupati/Wakil dan Walikota/Wakil mendapat pertimbangan dan persetujuan  oleh Majelis Rakyat Papua sebagai lembaga representasi Orang Asli Papua.

 

Deklarasi Sentani Diantara 
UU Nomor  21 Tahun 2001 dan UU   Nomor 10 Tahun 2016

Pertanyaan sederhana apakah deklarasi sentani mempunyai kekuatan hukum? atau hanya sebagai pesan moral. prinsip-prinsip penerepan peraturan perundang-undangan “lex spesialist derogate  lex generalise” peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum”. Dalam praktek penerapan Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 dan Undang-undang Nomor 10 tahun 2016, memiliki ruang yang berbeda. Undang-undang Nomor 21 tahun 2001, pasal 28 ayat 3 & 4, memberikan ruang memprioritaskan orang asli papua dalam hal seleksi maupun  rekruitmen partai politik.  sebaliknya ketentuan Undang-undang  Nomor 10 tahun 2016,  perubahan kedua atas Undang -Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur,  Bupati dan Walikota pasal 42  ayat 1, 2 dan 6 yang menyatakan, bahwa; ayat 1; Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur di daftarkan Ke KPU Provinsi oleh partai politik, gabungan partai politik atau perseorangan,  ayat 2; Pasangan Calon Bupati  Dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Wakil Walikota  di daftarkan ke KPU kabupaten/kota  oleh partai politik, gabungan partai politik atau perseorangan. ayat 6; Pendaftaran pasangan calon disertai surat keputusan masing-masing pengurus partai politik tingkat pusat tentang persetujuan atas calon yang diusulkan oleh pengurus partai tingkat provinsi dan/atau pengurus partai tingkat kabupaten/kota. Maka disimpulkan  pada prinsip penerapan  “lex spesialist derogate  lex generalise” tidak memenuhi asas kepastian hukum untuk mengakomodir hasil  deklarasi sentani.   


Mengelaborasi   Kepentingan Partai Politik dan Deklarasi Sentani 

Sejauh pengamatan pada praktek demokrasi electoral, partai politik mempunyai metode  sendiri dalam memberikan rekomendasi pencalonan  kepada calon baik Calon Presiden/Wapres, Gubenur/Wakil, Bupati/Wakil dan Walikota/Wakil, bahkan pencalonan pada lembaga  legislatife tingkat pusat sampai dengan daerah. Partai politik secara kelembagaan menurut beberapa hasil penelitian kurang berhasil dalam membangun kaderisasi yang baik. Menurut ramlan subakti; fungsi partai politik dalam hal;  recrutmen politik, partisipasi politik, sosialisasi politik, komunikasi politik, masih terbatas dan cenderung menjelang momentum demokrasi electoral.  Sehingga orientasi asal menang walaupun bukan kader seolah menjadi kunci utama, misalnya partai politik  sering mencalonkan calon dari basis tokoh masyarakat, tokoh agama maupun para pemilik modal (pengusaha) ketimbang mencalongkan kader partai sendiri. Ketika partai politik menggunakan sarana lembaga survei sebagai rujukan  elektabilitas dan popularitas tokoh yang akan dijagokan sebagai calon, baik Bupati/Wakil dan Walikota/Wakil, maka tentu  tren calon atau tokoh yang memiliki elektabilitas dan polularitas  tinggi dipastikan akan didukung. Itulah preferensi kekuasan partai politik, yaitu, pertarungan demokrasi electoral dengan pendekatan merebut kekuasaan, mempertahankan kekuasaan dan melanjutkan kekuasaan. 


Bagaimana pimpinan partai politik tingkat pusat mengakomodir deklarasi sentani sebagai pertimbangan  pemberian rekomendasi atau dukungan pencalonan,  sebelum deklarasi sentani pada tanggal, 27 Februari tahun 2020, beberapa partai politik sudah menyerahkan atau menyampaian rekomendasi dukungan pencalonan kepada beberapa  calon Bupati/Wakil Bupati  di Papua maupun Papua Barat, entah itu bakal pasangan calon murni orang asli papua atau diantara pasangan calon itu bukan orang asli papua.  Paska deklarasi sentani, partai politik tingkat pusat terus memberikan dukungan atau rekomendasi kepada bakal pasangan calon di beberapa daerah. Tentu jika diprediksi sesungguhnya variabel deklarasi sentani dimungkikan tidak menjadi rujukan atau pesan moral pertimbangan  proses dukungan atau rekomendasi pencalonan kepala daerah di tanah papua oleh pimpinan partai politik tingkat pusat. 


Lebih baik menyalakan lilin, ketimbang mengutuk kegelapan,  perjuangan yang mulai jangan pernah berhenti. Deklarasi sentani dipandang penting sebagai bagian dari  perjuangan  mengangkat harkat dan martabat dalam ruang politik orang asli Papua, langkah strategis menurut hemat kami perlu dilakukan diantara, pertama; Majelis Rakyat Papua dan Papua Barat, segera menyampaika hasil deklarasi sentani secara resmi kepada Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat  Republik Indonesia (DPR RI) secara umum serta  Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) Daerah Pemilihan Papua dan Papua Barat, melalui kewenangan legislasi untuk diperperjuangkan melalui  usulan revisi Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus dengan  mempertegas pasal 28 ayat 3 &4, dalam hal rekruitmen partai politik untuk calon kepala daerah (Bupati/Wakil dan Walikota/Wakil)  wajib memprioritaskan Orang Asli Papua, ataupun sejalan   dengan pasal 12 huruf (a) bahwa yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat salah satunya Orang Asli Papua,  kedua; Majelis Rakyat Papua  dan Papua Barat lakukan pendekatan dialog bersama pimpinan partai politik tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota, agar  mendukung deklarasi sentani untuk  momentum pemilihan atau pemilu akan datang. 
 

Kalau Bukan Sekarang Kapan Lagi,  Kalau  Bukan Kitorang Siapa Lagi!


Penulis merupakan Ketua Bawaslu Kota Sorong Periode 2018-2023