Menjaga Marwah Pilkada Tahun 2024
|
Oleh: Elias Idie
Ketua Bawaslu Kota Sorong Periode 2018-2023
Ada sejumlah studi yang menggambarkan potret buram perjalanan politik demokrasi di Indonesia, seperti artikel oligarki dan demokrasi di Indonesia yang ditulis oleh Jeffrey A. Winters dalam bukunya merancang arah baru demokrasi paska reformasi, dengan menyimpulkan bahwa demokrasi yang berjalan di Indonesia adalah demokrasi elit dan oligarki. Atau secara jelas memberi kesan bahwa; Indonesia Paling tepat dijabarkan sebagai demokrasi criminal, dimana para kelompok oligarki bisnis secara teratur ikut serta dalam pemilihan umum sebagai alat berbagi kekuasaan politik, sambil menggunakan kekuatan kekayaan untuk mengalahkan sistem hukum dengan intimidasi dan bujukan. Bahkan studi Vedi Hadiz dan Richard Robinson bahwa perubahan menguatnya oligarki lokal, justru karena perubahan kelembagaan lokal ketika reformasi yang tidak dibarengi dengan perubahan tatanan dari resim sebelumnya, sehingga memungkinkan oligarki lama bertahan atau membentuk jejaring oligarki baru ditingkat local.
Ideal memang, pembagian kekuasaan ditingkat lokal dengan pelaksanaan pesta demokrasi diharapkan berefek langsung terhadap penguatan kesadaran masyarakat akan pentingnya media demokrasi sebagai sarana untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Penting untuk memaknai demokrasi dan desentralisasi sangat berperan bagi masa depan pembagunan di daerah. Namun, juga demokrasi dan desentralisasi pada ruang electoral tidak dapat terlepas dari siapa dan bagaimana pelaksanaannya (man behind the gun).
Peran Kelompok Oligarki Bisnis Melalui Regulasi Limit Contribution
Regulasi limit kontribusion dalam praktek pemilu atau pemilihan di Indonesia justru memperbesar peluang korporasi atau kelompok oligarkis bisnis yang bermodal kuat, mengendalikan pemilu bahkan sampai pada suksesi kemenagan. Bahkan dampaknya baik partai politik maupun calon terpilih tersandera oleh kepentingan korporasi.
Hiruk pikuk pemilihan paling terasa saat kandidat-kandidat bermunculan dan menyatakan siap untuk maju. Namun, konteks yang cukup krusial adalah proses bagaimana calon atau pasangan calon mendapatkan dukungan partai politik yang dalam bahasa umum sering disebut dengan “kendaraan politik”. Gayungpun bersambut. Partai-partai politik memiliki opsi lebih variatife untuk mendukung atau merekomendasi calon. Adapun pertimbangan strategis mencakup elektabilitas, kualitas pribadi yang memadai dan kemampuan finansial. Dan tentunya dibalik proses mendapatkan kendaraan politik, para kandidatpun bekerja ekstra mencari modal/dana politik.
Bagaiman strategi kandidat mencari dukungan atau mendapatkan dukungan modal politik pada pilkada, pertama; kandidat yang ingin maju mendatangi kelompok pemodal, kedua; kelompok pemodal mendatangi calon kandidat menawarkan kesediaan mendanai atau memberi modal, ketiga; melalui pialang (perantara,penghubung) sebagai perantara atau penghubung mempertemukan kandidat kepala daerah dengan pihak-pihak yang akan memberikan bantuan finansial. Kehadiran para pialang ini dilatarbelakangi bahwa mereka secara alamiah memahami tidak secara keseluruhan para kandidat kepala daerah yang siap bertarung memilik modal finansial yang kuat. Disinilan entri point kesepakatan antar pasangan calon dan pemilik modal mulai melakukan transaksional perjanjian dan komitmen. Maka prinsipnya tidak ada makan siang gratis (no free lunch).
Kepentingan para kelompok oligarkis bisnis ini sederhana yaitu, ketika pilkada usai dan kandidat yang didukung menang, maka konsesi di wilayah tersebut mutlak akan dikuasai. Konsensi-konsesi yang akan didapatkan beraneka ragam, mislanya pengusaan sumber daya bernilai ekonomis tinggi, Ijin penguasan Hak Penguasaan Hutan (HPH), izin pemanfatan hutan (IPH), Izin membuka pertambangan hingga rekanan atau kontraktor berkelas A atau Tamu VIP dilingkup pemerintah tersebut sepanjang periode jabatan. Ditelusuri mengapa grup perusahan tertentu mudah mendapatkan izin dan atau menguasi pekerjaan fisik dan non fisik selama ini, jawabannya karena Bos Perusahan dimaksud adalah orang yang berjasa sebagai donator utama modal politik atau modal kampanye Gubernur/Wakil, Bupati/Wakil dan Walikota/Wakil yang sedang menjabat. Sehingga sesugguhnya manfaat dari hasil Pilkada selama ini, dimana kandidat yang didukung penuh kelompok oligarki bisnis, akan tersandera oleh kepentingan dan agenda kelompok tersebut. Kompensasi akan konsesi lahan, hutan, batu bara, minyak, gas dan kekayaan alam apapun yang ada didaerah tersebut.
Secara realitas umum bahwa proses demokrasi electoral kita menunjukan kecerdasan merayu pemilih dengan pendekatan market sistem (sistem pasar) karena didukung oleh para pemilik modal (oligarki bisnis). Proses pencalonan, kampanye sampai dengan pemilihan didesign dengan pendekatan pragmatis. Maka tentu pasangan calon rekondisi dari elit partai dan kelompok oligarki bisnis diberi tempat terhormat dengan menyingkirkan actor dan elit politik yang memilik otentisitas (kapasitas, integritas). Tak jarang kandidat pemenang berkantung tebal yang didukung oleh kelompok pemodal, menyisikan individu-individu bermental baik, terdidik, berkaliber inteleketual dan mempunyai jiwa membangun. Akhirnya outpun Pemilukada hanya berujung pada terpilihnya pemimpin daerah yang mengandalkan filosofi vox argentum suara rakyat adalah suara uang receh, bukan vox populy vox dei (Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan).
Otoritas Pemimipin Daerah Dikendalikan Logika Pasar
Bagaimana wajah elit politik di daerah jika dilihat dari aspek kewenangan otonomi daerah sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (desentralisasi). Dari asumsi teoritis bahkan praktek rupanya otonomi daerah sebagai ruang pengoperasian politik masyarakat dikendalikan oleh kekuatan pasar (market let- development). Implikasinya adalah munculnya kompleks industri demokrasi dengan mereduksi ruang public ke ruang jaringan yang dikendalikan oleh pemilik modal dan kekuasaan. Elit lokal (baca. Kepala Daerah) lahir dari struktur politik dikendalikan oleh logika pasar. Public ditaklukan kapasitas ekonomi ketimbang kapasitas politik dan moral. Sehingga ironi hari inipun munculnya kebebasan dan otonomi elit diperhadapkan dengan hukum-hukum pasar. Jadi kualifikasi seseorang elit politik di daerah tidak ditentukan oleh kapasitas dan kecakapan tetapi oleh kekuatan modal dan relasi politik.
Lantas bagaimana dengan konsep-konsep dan program-program ideal dengan tema kemakmuran, pelayanan public, kesejahteraan, perbaikan infrastruktur dan suprastruktur yang bersifat jangka panjang, medium dan pendek untuk rakyat? Semua itu hanyalah janji manis pada saat kampanye, sebagai bentuk sekedar memenuhi jadwal dan tahapan. Sehingga tujuan ideal otonomi daerah dalam semangat bangunan demokrasi electoral yang seharusnya mewujudkan ide-ide desentralisasi dengan ide-ide demokrasi menjadi bias. Malah menghasilkan ide-ide desentralisasi korupsi, dinasti politik, penguasaan konsensi lahan, privatisasi kepentingan public, kerusakan alam, kerusakan lingkungan dan lain-lain.
Fakta Sesugguhnya bahwa The power of oligarki money, menjadi magnet tersendiri yang membuat para kepala daerah terpilih, tersandera oleh kepentingan para pemodal. Misalnya hasil rilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2020, bahwa sekitar 82 persen kampanye pilkada didanai oleh para cukong. Maka tentunya bisa digambarkan bahwa peran kelompok oligarki bisnis pada ruang hulu sampai dengan hilir proses demokrasi electoral cukup dominan.
Peran Civil Society , Sebagai Jalan Tengah Mereduksi Peran Oligarki Bisnis
Peran kelompok oligarki bisnis dalam proses demokrasi electoral, menjadi hal yang diangap lumrah bahkan seakan sebagai kelompok utama suksesnya proses kompetisi electoral. Hal ini terjadi, karena design sistem politik pemilu pada wilayah electoral system maupun electoral proses, memiliki kelemahan dan peluang yang dimanfatkan oleh kelompok oligarki bisnis tersebut. Refleksi atas fakta eksamplar demokrasi didaerah cenderung bebas (freedom) namun begitu lambat bergerak dijalur kesejahteraan (prosperity) bagi rakyat.
Perlu perkuat konsolidasi demokrasi local, dengan keterlibatan penuh kelompok civil society dengan penyelenggara baik KPU maupun Bawaslu Kabupaten/Kota. Dengan satu tujuan yaitu mampu memberi tafsir kritis terhadap tataran aturan normatife baik yang bersifat prefentife maupun represife serta memperkuat moralitas pelaksanaan tahapan pilkada. Sehingga marwah Pilkada yang selama ini dimanipulasi dengan politik transaksional, perlu direduksi untuk mencegah kristalisasi pasar gelap dalam panggung pilkada yang ditopang oleh kelompok oligarki bisnis.
Jika peran kolaboratife ini dibangun dengan semangat perjuang mewujudkan pemilu yang Jujur dan Adil. Maka dipastikan pemimpin pilihan yang tepat atas dasar kesadaran dan panggilan hati Nurani, berdasarkan variable subtantife, visi-misi, program, kompetensi, track record, pastilah pemimpin yang memperjuangkan aspirasi nasib rakyat menuju kesejahteraan dan kemakmuran, bukan pemimpin yang mengutamakan kepentingan para pemilik modal (kelompok oligarki bisnis).
Kita diingatkan oleh pepatah lama’ cerita tentang bulan, bukanlah bulan dan ceita tentang perubahan, bukanlah perubahan. Demokrasi didaerah tak akan tegak, Jika pemimpin dikendalikan oleh kelompok oligarki bisnis.