Netralitas ASN dan Dampaknya Terhadap Kinerja Pemerintahan
|
Oleh : DR. James J Kastanya, SE.MM
Latar belakang.
Ketidaknetralan seorang pegawai negeri sipil di situasi tahapan Pemilu maupun Pilkada yang sedang berlangsung menjadi hal biasa , dan juga menjadi ladang guna perubahan status dalam jabatan kariernya, lading menambah pundi-pundi ekonomi , dan ladang untuk nantinya mendapatkan proyek – proyek kecil akibat dari kerja kerja pegawai tersebut saat pegawai tersebut mencurahkan seluruh kekuatannya dalam memenangkan calon tertentu yang berstatus pimpinan / atasannya dari SKPD yang ada di dalam pemerintahan baik yang ada dilingkungan Kota, Kabupaten, Propinsi hingga pemerintahan pusat.
Berdasarkan kondisi riil yang ada , keterlibatan para ASN ini menimbulkan pertanyaan besar “ paham tidakkah mereka “ kaitannya dengan Pasal 494, Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu , Pasal 70 dan 71 Undang – undang nomor 10 tahun 2016 kaitannya dengan Pilkada, Pasal 12 Undang-undang nomor 5 tahun 2004 kaitannya dengan peraturan ASN dan beberapa peratuan pemerintah lainnya seperti Pasal 3 ( point 5,14 ) dan pasal 4 Peraturan pemerintah nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin pegawai, Pasal 254 ( a-e ) Peraturan Pemerintah nomor 11 tahun 2017 tentang manajemen ASN , Pasal 11,c ) Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2004 tentang pembinaan jiwa korps dan Kode etik PNS serta Surat edaran Menpan RB B/71/M.00.00/2017 yang mempertegas kepada ASN untuk tidak di dorong untuk mengarahkan pilihannya kepada salah satu calon yang ikut dalam kontestasi pemilu maupun pilkada atau dengan kata lain “kode keras “ bahwa ASN dilarang berpolitik praktis.
Pokok-pokok pikiran yang ada dalam Undang-undang Pemilu/Pilkada, juga Undang-undang ASN dan peraturan peraturan pemerintah yang di dikeluarkan sangat jelas membentengi pegawai / ASN untuk tidak dalam “ruang abu-abu” atau ruang kosong yang bisa membawa ASN dalam pelanggaran akan sumpah janjinya sebagai ASN sejati yang tetap netral dan tetap focus terhadap tugas fungsi mereka sebagai abdi Negara yang tugasnya melayani, bekerja sesuai kompetensi dan strata yang dimiliki serta bertanggung jawab secara utuh guna meningkatkan kinerja mereka terhadap SKPD yang dimana mereka berpijak dalam upaya menciptakan aparatur Negara yang professional, dan bertanggung jawab atas fungsi tugas mereka dalam melayani masyarakat.
Kinerja pegawai dalam sebuah organisasi / lembaga khususnya dilingkungan aparatur sipil Negara akan maksimal bila tidak ada tekanan dan interfensi dari pimpinan lembaga/ kepala daerah akibat pimpinan daerah tersebut dalam kontelasi pilkada/pemilu berjalan normal , berjalan sesuai aturan sehingga tidak punya beban cost tinggi , tidak juga punya beban balas budi kepada masyarakat umum dan secara khusus para aparat sipil Negara, sebaliknya bila pimpinan daerah yang dalam kontelasi pilkada / pemilu tidak memahami aturan dan lebih suka menggunakan kekuatan kekuasaan ( bila sebagai incumbent ) ataupun menggunakan “ kaki-tangannya” dalam upaya memenangkan dirinya sebagai pimpinan daerah termasuk keterlibatan ASN dalam memenangkan pimpinan tersebut dan saat memenangkan kontelasi Pilkada/pemilu tersebut maka akan ada harga yang harus dibayar mahal. Pegawai yang berhasil bekerja untuk calon tersebut akan merasakan hasil kerja kerasnya berupa promosi dan mendapatkan jabatan dan bagi ASN yang tidak bekerja untuk pimpinan yang menang kontelasi pilkada/pemilu yang notabenenya pegawai tersebut punya komitmen bersih , punya kompetensi, punya strata mumpuni, punya pengalaman, bertanggung jawab serta berintergritas tinggi dipastikan bekerja dalam tekanan dan interfensi langsung yang endingnya penilaian negative hingga non job akibat “ netralnya pegawai tersebut “ dalam pesta demokrasi .
Ideal sebuah organisasi/lembaga, ataupun satuan kerja ASN yang memiliki kinerja baik walau terjadi pergantian pimpinan daerah akan tetap mempertahankan dan mendasari kerja-kerja lembaga secara professional serta selalu menjunjung tinggi nilai-nilai netralitas , serta integritas diri pegawai dalam situasi apapun, sebaliknya pimpinan yang berpikir sempit maka dipastikan akan memasukkan gerbongnya dalam seluruh lini yang ada yang notabene pegwai yang ada tidak memiliki kapabiltas, tidak memiliki kompetesi sesuai strata yang dimiliki dan minim pengalaman berakibat pada Kinerja lembaga / satuan kerja ASN yang ada.
Untuk itu netralitas ASN dalam pemilu/pilkada menjadi sangat penting , sebaliknya bila tidak netral maka ASN tersebut dipastikan akan mendulang akibat, sangksi seperti :
- Pada pasal 71 Undang-undang 10 tahun 2016 “ melanggar dengan menggunakan jabatannya dalam mempengarui sebuah kebijakan maka akan di kenakan pidana paling lama 6 bulan dan denda Rp. 6 juta
- Pasal 70 Undang-undang 10 tahun 2016 “ melanggar aturan dengan terlibat langsung dalam politik praktis “
- Pasal 494 junto 280 ayat 2 dan 3 , ASN dilarang dalam pelaksanan dan tim kampanye maka kurungan badan 1 tahun dengan denda Rp.12 Juta
- Pasal 87 ayat 4 point c Undang-undang ASN menjadi anggota dan atau pengurus partai politik ( diberhentikan dengan tidak hormat )
- Kode etik PNS Pasal 6 ( g,h ) Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2004
Dengan melihat beberapa sangksi yang ada, sangat diharapkan PNS /ASN mampu untuk tetap bersikap netral dan tidak berpihak kepada siapapun calon kepala daerah ( Bupati, Wali Kota, Gubernur, kepala pemerintah Republik Indonesia ( Presiden dan Wakil Presiden ) sehingga lembaga / Satuan Kerja ASN ini akan berwibawa dan dalam melaksanakan tugas dan tangggung jawabnya.
ASN yang netral , dan yang mampu menjaga netralitas akan menghasil kinerja Satuan kerja ASN berhasil guna.
Salam awas
Salam netralitas
Pemilu/Pilkada sukses menghasilkan pimpinan yang bermartabat