SAATNYA AMPUTASI TOTAL POLITIK “CIUM TANGAN” PADA PEMILUKADA TAHUN 2020
|
Ketua Bawaslu Kota Sorong - Sembari menikmati waktu panjang menuju tanggal, 23 september tahun 2020, dan berharap mengubur masa lalu yang kelam, dengan meminjam pendapat Robert A. Dahl praktek demokrasi mempunyai banyak keunggulan, misalnya. Menghindari tirani, menjamin hak asasi, menjamin kebebasan umum, dapat menentukan nasib sendiri, otonomi moral, menjamin perkembangan manusia, mendorong kemakmuran dan menjaga perdamaian. Kebahagian dan kegembiraan atas nikmat demokrasi electoral setelah sekian lama terkoptasi kelompok elit dan oligarki tidak akan datang begitu saja, melainkan harus direbut dan diperjuangkan. Tugas politisi, penyelenggaran pemilu, akademisi, kelompok intelektual, penggiat demokrasi dan seluruh pemilih cerdas adalah menjaga agak pesta demokrasi kita tidak terkubur oleh persepsi kasusistik, melainkan tiba di dermaga cinta yang menyejahterakan.
Demokrasi electoral hadir serta merta menghampiri pintu-pintu rumah penduduk yang sebelumnya hidup dalam suasan terkekang secara politis. Pergelaran Pilkada yang seyogyanya merupaka efek langsung dari desentralisasi politik setelah sekian lama berada dalam kungkungan otoritarianisme dipandang sebagai langkah tepat untuk memperkuat institusi-institusi demokrasi di tingkat bawah. Selain itu produk pemimpin hasil pemilihan kepala daerah secara langsung diharapkan akan lebih mampu untuk menyerap dan memahami kondisi dan aspirasi konstituen, harapan ideal momentum pemilukada langsung sebagai ruang aktualisasi program-program pro rakyat, program meningkatnya indeks pemahaman demokrasi dan juga peningkatan taraf hidup yang lebih baik.
Sesungguhnya Pemilukada dimaknai sebagai ruang; memilih kepala daerah sesuai dengan kehendak bersama masyarakat di daerah, sehingga diharapkan dapat memahami dan mewujudkan kehendak masyarakat di daerah, Pilihan masyarakat berdasarkan visi, misi, program serta kualitas dan integritas calon tersebut, Sebagai sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana evaluasi dan control public secara politik dan kekuatan politik yang menopang.
Menata Subtansi Ide-Ide Desentralisasi dan Demokrasi
Menurut Hans Keisen yang disebut Otonomi Daerah adalah perpaduan lansung dari ide-ide desentralisasi dengan ide-ide Demokrasi. Ide-ide desentralisasi dalam proses Demokrasi diantaranya pertama; adanya distribusi kekuasaan yang merata didalam sebuah komunitas kedua; Secara politik masyarakat akan semakin tedidik; Sistem Pemerintahan semakin stabil, ketiga; Pemerintah semakin dekat dengan warga, keempat, Semakin tinggi partisipasi, kelima; semakin besar tingkat akuntabilitas dari pejabat di Daerah. Outpun ide-ide desentralisasi dalam proses demokrasi kontomporer secara praksis dirasakan antara lain, desentralisasi korupsi, dinasti politik, penguasaan konsensi lahan, privatisasi kepentingan publik, kolusi dan nepotisme dan lain-lain. hal ini berbanding terbalik dengan harapan ideal konsepsi otonomi daerah sesungguhnya adalah; meningkatkam kesejaterahan masyarakat, memajukan daerah, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menyelesaikan persoalan daerah, menyerasikan pelaksanaan pembagunan daerah kabupaten/kota dan provinsi dengan nasional dan memperkokoh negara kesatuan republik indonesia.
Mengobati Cacat Bawaan Pilkada
Perkembangan proses pemilihan kepala Daerah secara langsung tentu menjadi ruang lompatan demokrasi yang memberikan kedaulatan penuh ada di tangan rakyat. Fakta output hasil politik transaksional menyisakan cerita kejahatan demokrasi. Gubernur, Bupati dan Walikota atau wakil, cukup banyak tersangkut kasus korupsi. Desakan agar adanya perbaikan system atau mengevaluasi system pelaksanaan pemilihan secara langsung terus disuarakan, Kendati demikian, fakta tersebut tidak perlu menjadi untuk bersurut langkah, meninggalkan demokrasi dan otonomi kembali kepada otokrasi dan sentralisasi.
Evaluasi Panjang mengapa dan kenapa banyak begitu kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, tentu banyak pendapat maupun argumentasi diantarnya perbuatan korupsi karena system yang dianut adalah pemilukada langsung atau dengan system “tarung bebas” dengan pendekatan kaca mata ekonomi, sebagai hubungan mutualisme antar pelaku (partai, politisi dan perantara) dan korban (rakyat) keduanya saling mendapat keuntungan dengan mekanisme money politik. Bagi para competitor money politik adalah strategi jitu mempengaruhi pemilih, sebaliknya rakyat memandang sebagai bonus rutin di masa pemilu yang lebih rill dibandingkan dengan program-program yang dijanjikan.
Proses hulunisasi demokrasi oleh para competitor diawali dengan pendekatan-pendekatan pragmatis. Sehingga secara umum bahwa proses demokrasi electoral kita menunjukan kecerdasan merayu pemilih dengan pendekatan market system (system pasar) sehingga hasilnya mereka yang berhasil terpilihpun, sesungguhnya tidak memiliki prestasi menonjol, namun pandai meraih simpati public.
Tentu fenomena diatas bukanlah kebenaran mutlak atas demokrasi electoral yang kita anut. Namun perlu kita mendorong kembali agar system demokrasi kita tak salah urus. Lebih baik menyalakan lilin dari pada mengutuk kegelapan. Sembari menanti dan beharap proses demokrasi electoral yang ideal dan demokratis baik dari sisi procedural maupun subtantife, maka saya menyarankan beberapa argumentasi solutife diantaranya; perbaikan proses hulunisasi, pertama; aspek pencalonan “adanya keterbukaan terkait syarat-syarat pencalonan tanpa biaya (tanpa mahar) oleh partai politik”, kedua; Adanya pembiayaan yang wajib di tanggung oleh Negara malalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara misalnya honorium saksi pasangan calon dan biaya kampanye terbuka atau rapat umum, ketiga; penguatan pada proses Hilirisasi, pelembagaan wadah gerakan anti politik uang ditiap daerah dengan melibatkan perwakilan semua elemen.
Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020, kepada rakyat pemegang hak kedaulatan penuh, wajib menentukan pilihan berdasarkan variable subtantife, visi-misi, program, kompetensi, track record. Bukan dengan variable pragmatis, politik pasar murah, politik silaturahmi amplop, , politik serangan fajar. Maka yakin bahwa pemimpin pilihan berdasarkan variable subtantife diatas, pastilah pemimpin yang memperjuangkan aspirasi nasib rakyat menuju kesejahteraan dan kemakmuran, bukan pemimpin yang mengutamakan kepentingan para pemilik modal, tim sukses atau partai pengusung.
Akhirnya pemimpin ideal bukanlah pemimpin daerah yang mengandalkan filosofi vox argentum suara rakyat adalah suara uang receh, namun pemimpin yang mengedepankan vox populy vox dey. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Maka wajib hukumnya Harus Amanah Dalam Memimpin.
Semoga !!!!!!!